NAMA : ARI SASTIA ASMARANI
KELAS : 2EB08
NPM : 20209070
Bagaimana koperasi indonesia menghadapi persaingan global (globalisasi) ?
Jawab :
Dewasa ini bangsa kita telah dilanda berbagai macam masalah, mulai dari bencana alam, tindak korupsi, terrorisme, dan yang sedang dipergunjingkan saat ini adalah krisis ekonomi. Pada tahun 1998 kita mengalami krisis ekonomi, dimana masyarakat sangat merasakan mirisnya hidup mencari sesuap nasi, dengan meningkatnya harga jual sembako masyarakat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah krisis e konomi berlalu kita dipusingkan lagi oleh krisis ekonomi global. Dengan globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya A frika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu di seluruh dunia. Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi dibatasi oleh blok politik / ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering dengan pengertian berbeda.
Koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Krisis ekonomi global membawa dampak terhadap perekonomian nasional. Bahkan diberitakan, di sejumlah daerah sektor usaha mikro kecil dan menengah mengalami penurunan omzet ekspor akibat gejolak keuangan dunia. Jika tidak diwaspadai, hal itu akan menggulung potensi ekonomi nasional, khususnya koperasi.
Koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi dilakukan. Krisis ekonomi global membawa dampak terhadap perekonomian nasional. Bahkan diberitakan, di sejumlah daerah sektor usaha mikro kecil dan menengah mengalami penurunan omzet ekspor akibat gejolak keuangan dunia. Jika tidak diwaspadai, hal itu akan menggulung potensi ekonomi nasional, khususnya koperasi.
Liberalisasi dan privatisasi ekonomi merupakan inti ekonomi global. Dalam menghadapi ekonomi global, tak ada yang lebih fundamental kecuali upaya untuk mendorong berjalannya tata ekonomi yang menggunakan mekanisme pasar berkeadilan sebagai alat mendistribusikan sumber daya ekonomi secara efisien kepada masyarakat guna mencapai tingkat kemakmuran ekonomi yang tinggi.
Sejalan dengan pengertian asal kata koperasi dari “Co” dan “Operation” mempunyai arti bersama-sama bekerja, Koperasi berusaha untuk mencapai tujuan serta kemanfaatan bersama. Guna memperoleh pengertian yang lebih lengkap tentang koperasi, ILO di dalam penerbitannya tentang “Cooperative Management and Aministration” (1965, h. 5) ……..Cooperative is an association of person, usually of limited means, who have voluntarily joined together to achieve a common economic and through the formation of a democratically controlled business organization, making efuitable contrtobution to the capital required and accepting a fair share of the risk and benefits of the undertaking.
Koperasi yang lahir pertama di Inggris (1844) berusaha mengatasi masalah keperluan konsumsi para anggotanya dengan cara kebersamaan yang dilandasi atas dasar prinsip-prinsip keadilan yang selanjutnya menelorkan prinsip-prinsip keadilan yang dikenal dengan “Rochdale Principles”. Dalam waktu yang hampir bersamaan di Prancis lahir koperasi yang bergerak di bidang produksi dan di Jerman lahir koperasi yang bergerak di bidang simpan-pinjam
Keberadaan koperasi di Indonesia telah diakui dalam UUD 1945, yaitu dalam pasal 33 ayat 1, dimana disebutkan bahwa ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dan tidak hanya diakui keberadaannya bahkan koperasi telah dijadikan sebagai model ideal susunan perekonomian di Indonesia. Koperasi selama ini juga dianggap sebagai representasi ekonomi kerakyatan. Akan tetapi pada kenyataannya perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang surut. Dimana peran-peran koperasi sebagai salah satu penggerak ekonomi seakan selalu diabaikan. Posisi dan peran koperasi selalu dikalahkan oleh BUMN maupun usaha-usaha besar yang digerakkan oleh para konglomerat. Lebih lanjut koperasi selalu diidentikkan dengan ekonomi marjinal maupun sektor yang tidak profesional. Pergerakan koperasi seakan lari ditempat dan tidak pernah mampu untuk bersaing dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lain.
Pada sisi lain harus diakui bahwa koperasi merupakan sektor yang mampu menjadi katup pengaman ketika perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Elastisitas koperasi dalam menghadapi perubahan perekonomian menjadi faktor kunci daya survival koperasi. Daya survival inilah yang kemudian membawa koperasi sebagai sektor yang berperan dalam menggerakkan ekonomi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Sehingga meskipun dikatakan bahwa koperasi hanya memiliki skala usaha yang kecil tetap saja peran koperasi dalam perekonomian di Indonesia tidak bisa diabaikan. Dan terbukti pertumbuhan koperasi dari tahun ke tahun terlihat menunjukkan kenaikan.
Jawa Timur sendiri merupakan salah satu propinsi yang paling banyak memiliki koperasi. Dimana data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah koperasi di Jawa Timur menempati urutan kedua, setelah Jawa Barat, yaitu sejumlah 17.175 unit dengan jumlah yang aktif mencapai 12.282 unit. Sementara data dari Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Jawa Timur menunjukkan bahwa hingga tahun 2006 jumlah koperasi di Jawa Timur telah mencapai 17.537 unit dengan jumlah koperasi yang aktif sebesar 12.691 unit. Anggota koperasinya sendiri telah mencapai 4.822.040 orang. Sedangkan dari permodalannya jumlah modal yang berasal dari koperasi sendiri senilai Rp 3,7 trilyun dan yang berasal dari luar senilai Rp 4,7 trilyun (Kompas, 13 Maret 2007). Data dari Kementerian Koperasi dan UKM juga menunjukkan bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2005, penyerapan tenaga kerja koperasi di Jawa Timur mengalami kenaikan sebesar 15,94 persen, yaitu dari 44.387 orang pada tahun 2004 menjadi 51.462 orang pada tahun 2005. Dari data yang tersaji mengindikasikan betapa koperasi menjadi potensi yang berharga bagi Jawa Timur. Data-data tersebut juga menginformasikan bahwa perkembangan koperasi di Jawa Timur tidak bisa diremehkan. Artinya, dengan perkembangan koperasi yang cukup positif di Jawa Timur maka bisa diartikan bahwa koperasi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam menopang perekonomian di Jawa Timur.
Dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi dan persaingan global juga menjamah pada wilayah lokal maka tidak mengherankan bila perusahaan-perusahaan besar utamanya lebih memilih lulusan-lulusan perguruan tinggi dibandingkan lulusan SLTA apalagi SLTP dalam memperkuat SDM-nya. Lain halnya dengan koperasi, dimana koperasi seringkali lebih fleksibel dalam melihat tingkat pendidikan sebagai dasar penguatan SDM. Koperasi bergerak layaknya usaha kecil menengah, dimana dalam menjalankan usahanya lebih mengandalkan pada pola kekeluargaan dan kepercayaan. Sehingga koperasi sendiri pun lebih banyak digerakkan dengan sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan yang terbatas. Tidak mengherankan bila koperasi, seperti halnya UMKM, berpotensi menjadi kantong-kantong penyerapan pengangguran, dalam hal ini di Jawa Timur. Bagaimana tidak, data Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Jawa Timur didominasi oleh kalangan yang berpendidikan SLTA, yaitu sebesar 638.639. Sementara untuk kalangan berpendidikan tingkat sarjana “hanya” sebesar 77.050. Data ini juga bisa dijadikan indikasi awal bahwa kalangan berpendidikan SLTA telah kalah bersaing dalam dunia kerja dengan kalangan yang berpendidikan sarjana atau akademi. Sehingga jelas bahwa dengan didominasi oleh pengangguran berpendidikan SLTA maka koperasi di Jawa Timur harus mampu menjadi alternatif dunia kerja yang bisa mendorong roda perekonomian di Jawa Timur. Apalagi saat ini biaya pendidikan semakin mahal dan diyakini banyak kalangan masyarakat yang tidak mampu membiayai anak-anaknya untuk masuk ke perguruan tinggi. Dan ujung-ujungnya angkatan kerja akan didominasi oleh lulusan SLTA.
Pada sisi lain harus diakui bahwa koperasi merupakan sektor yang mampu menjadi katup pengaman ketika perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Elastisitas koperasi dalam menghadapi perubahan perekonomian menjadi faktor kunci daya survival koperasi. Daya survival inilah yang kemudian membawa koperasi sebagai sektor yang berperan dalam menggerakkan ekonomi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Sehingga meskipun dikatakan bahwa koperasi hanya memiliki skala usaha yang kecil tetap saja peran koperasi dalam perekonomian di Indonesia tidak bisa diabaikan. Dan terbukti pertumbuhan koperasi dari tahun ke tahun terlihat menunjukkan kenaikan.
Jawa Timur sendiri merupakan salah satu propinsi yang paling banyak memiliki koperasi. Dimana data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah koperasi di Jawa Timur menempati urutan kedua, setelah Jawa Barat, yaitu sejumlah 17.175 unit dengan jumlah yang aktif mencapai 12.282 unit. Sementara data dari Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Jawa Timur menunjukkan bahwa hingga tahun 2006 jumlah koperasi di Jawa Timur telah mencapai 17.537 unit dengan jumlah koperasi yang aktif sebesar 12.691 unit. Anggota koperasinya sendiri telah mencapai 4.822.040 orang. Sedangkan dari permodalannya jumlah modal yang berasal dari koperasi sendiri senilai Rp 3,7 trilyun dan yang berasal dari luar senilai Rp 4,7 trilyun (Kompas, 13 Maret 2007). Data dari Kementerian Koperasi dan UKM juga menunjukkan bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2005, penyerapan tenaga kerja koperasi di Jawa Timur mengalami kenaikan sebesar 15,94 persen, yaitu dari 44.387 orang pada tahun 2004 menjadi 51.462 orang pada tahun 2005. Dari data yang tersaji mengindikasikan betapa koperasi menjadi potensi yang berharga bagi Jawa Timur. Data-data tersebut juga menginformasikan bahwa perkembangan koperasi di Jawa Timur tidak bisa diremehkan. Artinya, dengan perkembangan koperasi yang cukup positif di Jawa Timur maka bisa diartikan bahwa koperasi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam menopang perekonomian di Jawa Timur.
Dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi dan persaingan global juga menjamah pada wilayah lokal maka tidak mengherankan bila perusahaan-perusahaan besar utamanya lebih memilih lulusan-lulusan perguruan tinggi dibandingkan lulusan SLTA apalagi SLTP dalam memperkuat SDM-nya. Lain halnya dengan koperasi, dimana koperasi seringkali lebih fleksibel dalam melihat tingkat pendidikan sebagai dasar penguatan SDM. Koperasi bergerak layaknya usaha kecil menengah, dimana dalam menjalankan usahanya lebih mengandalkan pada pola kekeluargaan dan kepercayaan. Sehingga koperasi sendiri pun lebih banyak digerakkan dengan sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan yang terbatas. Tidak mengherankan bila koperasi, seperti halnya UMKM, berpotensi menjadi kantong-kantong penyerapan pengangguran, dalam hal ini di Jawa Timur. Bagaimana tidak, data Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Jawa Timur didominasi oleh kalangan yang berpendidikan SLTA, yaitu sebesar 638.639. Sementara untuk kalangan berpendidikan tingkat sarjana “hanya” sebesar 77.050. Data ini juga bisa dijadikan indikasi awal bahwa kalangan berpendidikan SLTA telah kalah bersaing dalam dunia kerja dengan kalangan yang berpendidikan sarjana atau akademi. Sehingga jelas bahwa dengan didominasi oleh pengangguran berpendidikan SLTA maka koperasi di Jawa Timur harus mampu menjadi alternatif dunia kerja yang bisa mendorong roda perekonomian di Jawa Timur. Apalagi saat ini biaya pendidikan semakin mahal dan diyakini banyak kalangan masyarakat yang tidak mampu membiayai anak-anaknya untuk masuk ke perguruan tinggi. Dan ujung-ujungnya angkatan kerja akan didominasi oleh lulusan SLTA.
Untuk menjadikan koperasi sebagai alternatif dunia kerja yang strategis tentu diperlukan koperasi yang berkualitas. Artinya, koperasi harus bisa mereformasi dirinya menjadi koperasi yang bukan sekedar berdiri semata. Akan tetapi koperasi tersebut harus bisa mendobrak hambatan-hambatan ataupun permasalahan-permasalahan yang selama ini selalu menjadi benalu dalam perkembangan koperasi. Persoalan kelembagaan koperasi, baik itu persoalan permodalan, kepengurusan maupun persoalan keanggotaan merupakan salah satu persoalan yang menjadi perhatian utama dalam upaya mereformasi koperasi yang berdaya guna. Selain itu, koperasi sudah seharusnya meninggalkan pola ketergantungannya pada pemerintah. Kebutuhan koperasi saat ini bukan lagi bantun-bantuan program dengan dana yang melimpah yang seringkali justru terbuang sia-sia. Perhatian “berlebih” yang selama ini diberikan pemerintah kepada koperasi bisa dikatakan ikut menjadikan koperasi terlena dengan kondisi yang ada. Koperasi saat ini justru lebih membutuhkan kebijakan yang mendukung ruang gerak koperasi itu sendiri dalam upaya mendorong dan meningkatkan kemandirian, profesionalitas dan juga daya saingnya.
Kemandirian koperasi pada gilirannya menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan peran koperasi sebagai soko guru ekonomi. Pengelolaan koperasi yang bertumpu pada kemandirian anggota menjadi akan menjadi pondasi bagi upaya memberdayakan kembali ekonomi para anggotanya. Pada titik inilah koperasi diharapkan dapat berperan dalam menggerakkan ekonomi masyarakat serta daerah sekitarnya. Dan jika hal tersebut dapat dilaksanakan di setiap daerah maka bukan mustahil bila kemudian koperasi akan mampu menjadi penyangga ekonomi nasional melalalui aktivitas ekonomi di daerah-daerah.
Meskipun keadaan ekonomi kita saat ini masih carut-marut dan tidak stabil, namun semangat dari rakyat Indonesia tidak kenal menyerah. Namun, di saat semangat para pengusaha kecil di kalangan bawah, lagi-lagi mereka terbentur dengan permasalahan modal. Kita bisa cukup lega karena baru-baru ini pemerintah dari kementerian koperasi mengucurkan dana kredit Usaha Rakyat (KUR) yang cukup bisa membantu masyarakat.
Kegigihan pengusaha kecil dalam menjalankan kualitas usahanya sudah tidak diragukan lagi. Semangat bangkit dari keterpurukan,semangat berkemajuan,dan menghadapi tempaan rakyat kita luar biasa dan patut kita beri acungan jempol.
Hal ini juga terbukti ketika tahun-tahun lalu pemerintah merasa menyesal ketika memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha besar yang akhirnya berujung pada kredit macet. Kegigihan pengusaha kecil juga dapat dilihat dengan semakin berkembangnya waeung “HIK” yang sudah cukup popular dan menggembirakan di wilayah Solo,Klaten,dan sekitarnya.
Di saat yang bersamaan pula, ada beberapa koperasi mengalami kebangkrutan karena dampak kenaikan BBM. Pemerintah selama ini pun kurang memperhatikan mengenai pemberdayaan koperasi dan usaha kecil serta menengah. Kita bisa melihat ini dari kesan yang ditimbulkan karena pemerintah baru mampu memberikan bantuan modal saja, sedang disisi pemberdayaan dan pembinaan masih kurang.
Liberalisasi ekonomi yang diusung pemilik modal skala global dan rakus kian meneguhkan korporatokrasi(perkins,2003), hal ini juga berakibat bahwa pemerintah akan lebih mempercayai menajemen internasional,serta kepercayaan terhadap adanya privatisasi. Hal ini amat berbeda ketika kita lebih mengoptimalkan koperasi.
Seperti pada kasus minyak saat ini, ketika kita menggunakan prinsip ekonomi koperasi, kita tentu akan menggunakan minyak tersebut untuk kepentingan dalam negeri dulu, sebelum diekspor. Hal ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Bung Hatta yaitu : …..Kemana tujuan produksi yang akan dijalankan dengan industrialisasi?Pada jawab pertanyaan ini tersangkut bagi cita-cita industrialisasi itu. Ujud produksi yang sehat ialah memuaskan rakyat dalam negeri: Pokok perekonnomian ialah konsumsi rakyat …
Kegigihan pengusaha kecil dalam menjalankan kualitas usahanya sudah tidak diragukan lagi. Semangat bangkit dari keterpurukan,semangat berkemajuan,dan menghadapi tempaan rakyat kita luar biasa dan patut kita beri acungan jempol.
Hal ini juga terbukti ketika tahun-tahun lalu pemerintah merasa menyesal ketika memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha besar yang akhirnya berujung pada kredit macet. Kegigihan pengusaha kecil juga dapat dilihat dengan semakin berkembangnya waeung “HIK” yang sudah cukup popular dan menggembirakan di wilayah Solo,Klaten,dan sekitarnya.
Di saat yang bersamaan pula, ada beberapa koperasi mengalami kebangkrutan karena dampak kenaikan BBM. Pemerintah selama ini pun kurang memperhatikan mengenai pemberdayaan koperasi dan usaha kecil serta menengah. Kita bisa melihat ini dari kesan yang ditimbulkan karena pemerintah baru mampu memberikan bantuan modal saja, sedang disisi pemberdayaan dan pembinaan masih kurang.
Liberalisasi ekonomi yang diusung pemilik modal skala global dan rakus kian meneguhkan korporatokrasi(perkins,2003), hal ini juga berakibat bahwa pemerintah akan lebih mempercayai menajemen internasional,serta kepercayaan terhadap adanya privatisasi. Hal ini amat berbeda ketika kita lebih mengoptimalkan koperasi.
Seperti pada kasus minyak saat ini, ketika kita menggunakan prinsip ekonomi koperasi, kita tentu akan menggunakan minyak tersebut untuk kepentingan dalam negeri dulu, sebelum diekspor. Hal ini sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Bung Hatta yaitu : …..Kemana tujuan produksi yang akan dijalankan dengan industrialisasi?Pada jawab pertanyaan ini tersangkut bagi cita-cita industrialisasi itu. Ujud produksi yang sehat ialah memuaskan rakyat dalam negeri: Pokok perekonnomian ialah konsumsi rakyat …
koperasi adalah soko guru ekonomi dan itu sdh terbukti ktika badai krisis ekonomi menyerang indonesia, koperasi sbgai bagian dr pelaku ekonomi yg sahmnya di milik oleh anggota/banyak orang mampu berthan karena sbnarnya koperasi tersbt telah membangun market ekonomi, tp sayang di indonesia kop msh di pandang sebelah mata tdk sprt moto yg ada
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.
Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.
Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Koperasi adalah soko guru perekonomian bangsa, yang harus ditata kembali dengan baik dan benar, sehingga betul-betul menjadi ujung tombak bagi penciptaan kemakmuran rakyat. Koperasi jangan lagi dijadikan alat politik kekuasaan. Koperasi harus terbebas dari kepentingan kelompok atau golongan yang ingin mencari keuntungan sesaat.
Ada tiga hal perubahan yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan koperasi dalam menghadapi tantangan ekonomi global adalah :
Ada tiga hal perubahan yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan koperasi dalam menghadapi tantangan ekonomi global adalah :
1. Pembenahan aspek kelembagaan
Seperti diketahui, kelembagaan koperasi secara garis besar terdiri dari fungsi pengurus, fungsi pengawas, fungsi manajer, dan karyawan koperasi. Dalam praktiknya, koperasi tersebut tumpang tindih. Ada hal-hal yang tidak jelas dan terkait satu sama lain dalam pelaksanaan fungsi-fungsi itu. Akhirnya yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang salah satu pihak untuk memperkaya diri sendiri.
Seperti diketahui, kelembagaan koperasi secara garis besar terdiri dari fungsi pengurus, fungsi pengawas, fungsi manajer, dan karyawan koperasi. Dalam praktiknya, koperasi tersebut tumpang tindih. Ada hal-hal yang tidak jelas dan terkait satu sama lain dalam pelaksanaan fungsi-fungsi itu. Akhirnya yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang salah satu pihak untuk memperkaya diri sendiri.
2. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagai badan usaha yang berbasis pada masyarakat golongan ekonomi lemah, masalah yang umum terjadi pada koperasi adalah keterbatasan dan kelemahan SDM. Tenaga pengelola hanya mengandalkan semangat “pengabdian”, bukan profesionalisme. Karena itu untuk peningkatan SDM perlu diadakan latihan-latihan intensif atau kursus singkat. Selain itu jalur perguruan tinggi perlu digandeng pula. Koperasi perlu mengadakan kerja sama dengan kalangan perguruan tinggi.
Sebagai badan usaha yang berbasis pada masyarakat golongan ekonomi lemah, masalah yang umum terjadi pada koperasi adalah keterbatasan dan kelemahan SDM. Tenaga pengelola hanya mengandalkan semangat “pengabdian”, bukan profesionalisme. Karena itu untuk peningkatan SDM perlu diadakan latihan-latihan intensif atau kursus singkat. Selain itu jalur perguruan tinggi perlu digandeng pula. Koperasi perlu mengadakan kerja sama dengan kalangan perguruan tinggi.
3. Sektor modal dan lingkungan
Selama ini koperasi dianaktirikan dalam perekonomian Indonesia. Lembaga perbankan lebih mengutamakan pengucuran kredit untuk para konglomerat. Kolusi dan korupsi yang dilakukan sektor perbankan dan konglomerat menyebabkan sempitnya alokasi kredit untuk koperasi. Penyalahgunaan uang Negara tersebut telah menyebabkan terjadinya konsentrasi penyaluran modal kepada segelintir perusahaan konglomerat. Hal ini makin mempersempit kesempatan koperasi untuk memperoleh modal dari perbankan. Sekarang pemerintah harus mengalihkan perhatian pada koperasi. Alokasi kredit untuk koperasi harus diperbesar. Koperasi harus dipermudah memperoleh pinjaman modal dari bank. Dengan cara demikian koperasi akan berusaha mengejar ketertinggalannya untuk mengurangi makin tajamnnya kesenjangan perekonomian Indonesia.
Selama ini koperasi dianaktirikan dalam perekonomian Indonesia. Lembaga perbankan lebih mengutamakan pengucuran kredit untuk para konglomerat. Kolusi dan korupsi yang dilakukan sektor perbankan dan konglomerat menyebabkan sempitnya alokasi kredit untuk koperasi. Penyalahgunaan uang Negara tersebut telah menyebabkan terjadinya konsentrasi penyaluran modal kepada segelintir perusahaan konglomerat. Hal ini makin mempersempit kesempatan koperasi untuk memperoleh modal dari perbankan. Sekarang pemerintah harus mengalihkan perhatian pada koperasi. Alokasi kredit untuk koperasi harus diperbesar. Koperasi harus dipermudah memperoleh pinjaman modal dari bank. Dengan cara demikian koperasi akan berusaha mengejar ketertinggalannya untuk mengurangi makin tajamnnya kesenjangan perekonomian Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar